Berdiri di dunia, yang tak mengerti milik siapa sebenarnya dunia ini. Padahal sebenar-benarnya, ia milik ALLAH yang Maha Esa.
Saturday, March 6, 2010
Tasawuf Musik
Salah satu ajaran tasawuf yang paling penting adalah penyucian jiwa. Penyucian jiwa itu ada kalanya dilakukan para sufi dengan as-samā‘, yaitu mendengarkan musik yang indah sebagai alat purifikasi.1 Musik adalah sarana penyucian jiwa dan pengenalan unsur rohani dari diri seseorang. Musik tidak hanya menyentuh, tetapi meresap dan merasuk jiwa dan hati pendengarnya. Menurut Ihwān as-Şāfa,2 kelompok penulis abad sepuluh dan sebelas, jiwa manusia akan terangkat tinggi menjulang ke alam rūhani ketika ia mendengar melodi indah.3
Musik merupakan kesenian yang keindahannya dapat dinikmati melalui indera pendengaran dan telah ada sejak zaman sebelum datangnya Islam. Di Arab, musik dinikmati dengan berbagai macam cara, sesuai dengan suasana hati para penikmatnya. Tetapi pada saat itu, mayoritas musik digunakan untuk bersenang-senang dan hura-hura. Di tempat pertunjukan musik, mereka menari-nari dalam keadaan mabuk menikmati lagu-lagu yang dilantunkan oleh para pemusik yang kesemuanya adalah wanita hamba sahaya. Tidak ada pemusik laki-laki atau orang merdeka, karena bagi mereka menjadi pemusik dianggap sebagai aib bagi orang merdeka dan kaum laki-laki.4
Dalam sejarah peradaban manusia, belum ditemukan suatu kaum yang meninggalkan musik.5 Musik berkembang sejalan dengan perkembangan zaman dan peradaban manusia. Musik adalah perilaku sosial yang kompleks dan universal. Musik dimiliki oleh setiap masyarakat, dan setiap anggota masyarakat adalah “musikal”.6
Saat ini, perkembangan musik secara umum sangat pesat dan sangat manggiurkan generasi muda. Banyak sekali bermunculan aliran musik yang berbeda-beda; rock, heavy metal, reggae, jazz, pop, hip metal, hip hop, R&B dan lain-lain. Musik semacam ini ada juga yang syairnya bertema kriminal, pemujaan terhadap obat-obatan terlarang, kebebasan seksual, serta pengkultusan perilaku bunuh diri dan keputus-asaan. Ada pula yang secara terang-terangan memproklamirkan anti Tuhan.7
Musik juga telah menjadi sebuah industri untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi. Seperti yang terjadi di Barat yang telah memiliki pasar di dunia internasional. Musik kembali menjadi sesuatu yang identik dengan perbuaatan-perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat jahīliyah. Sekarang tidak sulit menemukan sajian musik yang digunakan untuk menari erotis, melupakan norma-norma masyarakat dan hanya menuruti hawa nafsu.
Penelitian yang dilakukan terhadap permainan musik oleh 208 orang musisi profesional pada tiga buah orkestra membuktikan bahwa musik zaman sekarang memiliki pengaruh buruk atas kesehatan pemain. Gejala sindrom tersebut terjadi karena musik modern yang dimainkan bertentangan dengan pakem musik yang pernah mereka pelajari. Musik zaman sekarang janggal -3 di telinga dan sering menimbulkan kegelisahan, kemarahan, sakit kepala, sering murung dan lain-lain -8
Agama sebagai salah satu tanda perkembangan peradaban manusia, memiliki hubungan yang nyata dengan musik. Dalam agama Kristen, musik dikenal sebagai salah satu bagian penting untuk melaksanakan ritual-ritual keagamaan. John Chrysostom, seorang pemuka agama Kristen yang hidup pada abad keempat setelah masehi mengatakan: “Tiada sesuatu, selain aransemen musik dan nyanyian agama, yang dapat meninggikan derajat akal, memberinya sayap untuk meninggalkan bumi dan melepaskannya dari belenggu jasmani serta menghiasinya dengan rasa cinta kepada kearifan.9
Penganut agama Hindu di India meyakini bahwa awal kehidupan adalah rūh, dengan itu maka ilmu pengetahuan, kesenian (termasuk musik), filsafat dan kebatinan diarahkan untuk satu tujuan yang sama, yaitu kehidupan spiritual. Musik Kuno India, merupakan salah satu budaya yang diwariskan secara turun temurun oleh pemeluk agama Hindu.10
Perjalanan sejarah kebudayaan Islam mengantarkan perkembangan musik ke arah musik yang bercorak Islam. Perkembangan musik dalam budaya Islam sendiri juga beragam. Ada musik yang disebut musik sufi, ada musik yang biasa ditampilkan untuk hadirin di sebuah pengajian atau majelis ta‘līm, ada juga musik “Islami” yang menembus dunia industri, seperti kelompok nasyid Snada, Raihan dan lain-lain.11
Dari deskripsi singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa musik dapat digunakan manusia untuk berbagai macam tujuan. Dari tujuan untuk mendekatkan manusia kepada Tuhan, sekedar hiburan, untuk mencari uang, bahkan ada juga orang menggunakan musik untuk pemenuhan hawa nafsu
Para pemain musik itu dibagi dalam tiga kelompok orkestra yang berbeda. Satu orkrstra menyanyikan lagu klasik, satu orkestra menyanyikan lagu modern, dan satu orkestra lagi menyanyikan lagu campuran. Kesimpulan dari eksperimen itu adalah bahwa pemain pada orkestra yang menyanyikan lagu modern yang mengalami permasalahan kesehatan. Djohan, Psikologi…, hlm. 107
yang menyebabkan manusia lupa akan dirinya sebagai makhluk Tuhan. Hal inilah yang mengundang permasalahan dalam masyarakat muslim masa kini. Permasalahan ini diawali dengan pertanyaan ; “bagaimanakah hukum musik menurut Islam ?”.12
Pertanyaan itu menimbulkan sikap yang berbeda-beda dari orang Islam. Sebagian membuka telinganya lebar-lebar terhadap setiap lagu dan warna musik, dengan alasan bahwa mendengar musik itu sesuatu yang indah dan baik bagi hamba Allah dan Allah membolehkannya. Sebagian lagi menutup telinganya dengan rapat setiap mendengar musik, karena menurut mereka musik atau lagu adalah seruling setan dan menghalangi manusia berżikir kepada Allah dan mengerjakan shalat. Apalagi yang didengar itu adalah suara perempuan, karena suara perempuan dengan tidak menyanyi saja adalah aurat. Merekapun mengeluarkan dalil-dalil dari ayat-ayat al-Qur’an, hadiś-hadiś dan pendapat ulama’ untuk memperkuat pendapat mereka. Bahkan sebagian dari mereka juga ada yang mengharamkan segala bentuk musik, meskipun musik itu hanya sekedar ilustrasi siaran berita di televisi. Ada juga kelompok muslim yang ragu untuk menentukan hukum musik. Mereka hanya mengikuti salah satu pendapat sesuai kebutuhan mereka, sehingga mereka selalu berubah-ubah pandangan terhadap hukum musik dan lagu.13
Banyak dari ahli fiqih yang mengharamkan musik mempertimbangkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh musik sebagai alasan keharamannya. Mereka menyebut kebiasaan-kebiasaan jelek yang biasa diringi musik, dan musik lebih memiliki keburukan daripada kebaikannya, jadi musik itu jelek. Mereka juga menambahkan, bahwa sya’ir dan musik dapat mengurangi gairah jiwa untuk melakukan tugas-tugas keagamaan, bahkan bisa mendorong manusia untuk mencari kepuasan-kepuasan di luar Islam, misalnya mabuk-mabukan dengan minuman keras.14
Menurut Ibn al-Jauzi ( 510 H/1116 M - 597 H/1200M ), seorang ahli fiqih Hanbali, bahwa musik itu memiliki dua akibat yang sangat jelek, pertama, menjadikan hati jauh dari pancaran cahaya Allah dan rahmat-Nya, kedua, mendorong manusia untuk terperdaya oleh kebahagiaan semu dan duniawi. Hal ini beralasan karena orang yang sangat asyik menikmati musik dapat mengakibatkan perbuatan seperti orang mabuk, menggeleng-gelengkan kepala, bertepuk tangan, menginjak-injakkan kaki ke tanah, dan gerakan-gerakan yang biasa dilakukan orang mabuk lainnya. Maka Ibn al-Jauzi menyamakan hukum musik dengan minuman keras, yaitu haram.15
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah,16adalah salah satu ulama’ yang menentang keras penggunaan musik dan tidak hanya mengharamkan musik yang biasa digunakan oleh orang zindiq17, tetapi ia juga mengharamkan musik yang digunakan oleh para sufi (as-samā‘). Dalam kitabnya Igāśatu Lahfān min Maqāyidi Syaiţan, ia menentang as-samā‘ dengan alasan agar para sufi tidak memasukkan sesuatu yang tidak dibenarkan oleh Allah dan Rasul-Nya ke dalam agama Islam.18
Lebih tegas lagi Ibn al-Qayyim menyatakan :
”Dan dari sebagian tipu daya musuh-musuh Allah yang memperdaya orang yang sedikit ilmunya, akal dan agamanya, dan juga mengalahkan hati orang-orang yang bodoh, adalah nyanyian dengan siulan dan tepukan tangan, juga nyanyian dengan alat-alat yang diharamkan yang menghalangi hati dari al-Qur’an dan menjadikannya bergelimang dengan dosa dan kemaksiatan, nyanyian itu adalah qur’annya setan dan penghalang kuat antara manusia dengan Allah Yang Maha Pengasih”.
Ditambahkannya lagi, bahwa nyanyian adalah jimat bagi orang yang melakukan liwaţ (homo seksual) dan zīna, dan dengan nyanyian itu setan membisikkan pada jiwa mereka penyerupaan yang batil seakan kelihatan bagus sehingga manusia itu menerima bisikannya dan menjadikan al-Qur’an jauh.19
Akan tetapi, pendapat Ibn al-Qayyim itu mendapat bantahan dari para penggemar musik sufi dengan menyatakan bahwa para auliyā’ dan şālihīn telah mendatangi tempat nyanyian tersebut. Dan Ibn al-Qayyim pun menanggapi dengan mengatakan dalam kitabnya : “Apabila beralasan bahwa tempat nyanyian ini dihadiri pula oleh para şālihīn yang tidak diragukan lagi ketinggian derajatnya, seperti al-Junaid dan sahabat-sahabatnya asy-Syibli, Yūsuf Ibn Husain ar-Rāzi dan yang sebelumnya seperti Żu an-Nūn al-Mişri dan yang lainnya, bagaimana mungkin kamu menyalahkan dan mengingkari mereka?.” 20
Kemudian Ibn al-Qayyim menjelaskan ulang pendapatnya tentang musik yang dihadiri para şālihīn itu secara luas dan rinci. Ia menambahkan penjelasan-penjelasan supaya umat Islam lebih berhati-hati dan lebih mempertimbangkan akibat buruk yang dapat di timbulkan oleh musik.
Pendapat mengenai keharaman musik juga pernah diutarakan oleh Ibn Taimiyah, al-Qurtūbi dan ulama’ fiqih lainnya, dan dikuatkan lagi dengan argumentasi bahwa sahabat Uśman ibn ‘Affān, Abdullah ibn Ummār, Anas ibn Mālik, dan juga beberapa tābi’īn, yaitu Sa’īd ibn al-Musayyāb, al-Qāsim ibn Muhammad dan Qatādah, tidak berkenan mendengarkan musik.21
Namun demikian, para ulama’ yang mempertahankan kehalalan musik juga sangat banyak sekali, di antaranya adalah para filosof Islam dan para tokoh spiritual Islam. Al-Kindi22 (filosof Islam abad 9), merupakan seorang pemikir yang pertama kali memiliki perhatian khusus mengenai musik. Ia menggunakan musik tidak hanya sebagai hiburan tetapi juga sebagi obat untuk penyakit jiwa dan raga. Al-Farābi23 (filosof Islam abad ke 10), pernah membuat buku tentang teori musiknya yang berjudul Kitāb al-Musīqa al-Kabīr. Ibn Sina24 (filosof Islam abad ke 11), dalam dua buah bukunya, yaitu asy-Syifā’ dan an-Najdāt, menulis satu bab khusus yang membicarakan tentang musik. Kemudian Ibn Bajjah25(filosof Islam abad ke 12), seorang filosof Islam dari Andalusia, pernah mengarang sebuah buku tentang musik yang juga diberi judul Kitab al-Musīqa, yang menurut sejarah buku ini sangat terkenal di Barat sebagaimana Kitab al-Musīqa karangan al-Farabi yang terkenal di Timur. Sedangkan para ulama’ sufi yang membahas musik dan menggunakannya antara lain: Abū Naşr as-Sarāj, Abd al-Kārim Ibn Hawāzīn, al-Qusyairi, al-Hujwīri, Abū Hāmid al-Gazāli, Ahmād al-Gazāli, Jalāl ad-Dīn Rūmi dan masih banyak lagi.26
Ini merupakan bukti, bahwa tidak ada kaum yang meninggalkan musik di dunia, sebagaimana yang disebutkan diatas, juga karena musik (yang diracik sedemikian rupa) merupakan kesenian yang memiliki pengaruh yang luar biasa dalam perkembangan kehidupan spiritual manusia. Untuk itu maka para sufi menggunakan musik, sebagai salah satu kreatifitas seni masyarakat yang setiap kaum di dunia ini mengenalnya, untuk menyucikan jiwa. Bahkan al-Gazāli menyebut orang yang tidak normal, kurang akal dan jauh dari rohani kepada orang yang hatinya tidak tergerak oleh keindahan musik yang dikembangkan oleh para sufi (as-samā‘).
Tokoh spiritual Islam masa lalu menggunakan musik untuk memunculkan keseimbangan dalam hidup setelah aktifitas keseharian mereka. Bagi para sufi kesenian ini adalah kesenian paling suci; dengan bantuan musik mereka bermeditasi, dengan memainkan musik tertentu yang memberikan efek tertentu bagi perkembangan individu. Penyair besar dari Persia yang bernama Jalāl ad-Dīn Rūmi,28 biasa menggunakan musik untuk meditasinya. Dengan bantuan musik dia menenangkan diri dan mengendalikan aktifitas tubuh dan pikiran.-29
Sufi sangat mencintai musik, mereka menganggap musik adalah makanan rūh. Para sufi menggunakan musik bukan untuk kesenangan, tapi pemurnian, do’a kepada Tuhan. Sebuah tarekat terbesar di India, yaitu Tarekat Sufi Chistiyah, bahkan kini ajarannya sudah sampai ke Rusia, menggunakan musik sebagai cara utama untuk pemurnian (penyucian jiwa).-30
Al-Gazāli, seorang pemikir Islam yang memiliki kekhasan dalam pemikirannya karena ia berhasil menyajikan dua hal pemikirannya, yaitu dunia mistik dan teologis dalam konteksnya dengan mempertahankan konsep sufi,31membicarakan musik (as-samā‘) secara rinci dan menyeluruh dalam salah satu bab dari sebuah buku karya besarnya; Ihyā’ ‘Ulūm ad-Dīn. Al-Gazāli, Hujjah al-Islam, adalah seorang pribadi besar yang sukar ditemukan bandingannya, yang telah menjadi nikmat Allah ke dalam kaum muslimin yang sedang mengalami keragu-raguan dalam mengalami pertumbuhan zaman. Hingga seorang peneliti Protestant bernama Dr. Zwemmer, menganggap al-Gazāli adalah salah seorang penyempurna agama Islam setelah Rasulullah saw karena kehebatan al-Gazāli dalam menguraikan ajaran agama, selain Imam Bukhari sebagai pengumpul hadiś nabi.32 Dan jika masih ada nabi setelah Rasulullah saw. Al-Gazāli-lah orangnya.33
Kajian-kajian al-Gazāli membentang luas dari persoalan fisik hingga metafisik; kajian-kajian eksoteris (syari’ah) hingga kajian-kajian esoteris (tasawuf). Ia membahas secara menyeluruh pesoalan-persoalan fiqih, ushul fiqih, logika, pengobatan, psikologi, pendidikan, sosial ekonomi, politik, etika, filsafat, metafisika, teologi, eskatologi, dan tasawuf. Meski berbagai atribut disandangnya; teolog, filosof dan lain-lain, namun pada dasarnya ia adalah seorang sufi sejati.34
Sebagai seorang sufi sejati, ia menolak pendapat-pendapat yang mengharamkan musik sebagai alat penyucian jiwa. Dalam Ihyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, ia menjelaskan pemikiranya tentang as-samā‘ secara luas dalam satu bab khusus yaitu kitāb adāb as-samā‘ wa al-wajd.
Pada awal penjelasannya mengenai as-samā‘, ia menunjukkan keunikan indera pendengaran bagi kepentingan spiritual manusia. Sehingga dalam karya besarnya itu wajib diuraikan pula mengenai as-samā‘ dan kesan as-samā‘ dalam hati (dalam istilah sufi kesan as-samā‘ adalah wajd/ekstase dan akan dijelaskan lebih lanjut pada bab berikutnya). Juga segala yang berkaitan tentang akibat baik atau buruk yang ditimbulkan, cara-cara dan adab melakukannya dan pengaruh perselisihan ulama’ terhadap perkembangan as-samā‘.35
Mengingat pengaruh pemikiran al-Gazāli yang tidak hanya terhadap perkembangan pemikiran Islam tetapi juga terhadap pemikiran mistisisme Barat yang ditunjukkan dengan aliran pemikiran mistis Kristen Dominicus dan Franciscus36 yang sangat dipengaruhi pemikiran al-Gazāli sang sufi sejati,maka pemikirannya mengenai as-samā‘ merupakan salah satu bahasan penting dalam kajian pemikiran mistis dan spiritualitas Islam.
RUJUKAN:
1 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, Sebuah Pembelaan Musik Sufi Oleh Ahmad Al-Gazāli, (Yogyakarta: Gama Media, 2003), hlm. 2
2 Ihwan as-Safa adalah sekelompok masyarakat rahasia (terasing) dibentuk di Basrah Irak, oleh Zaid ibn Rifa’ah dengan membentuk forum diskusi dan pengajaran. Kelompok ini memiliki sebuah karya besar yang disebut dengan Rasā’il Ihwān as-Şāfa (persepakatan Ihwan as-Şāfa) merupakan ensiklopedi filsafat, teologi, metafisika, kosmologi, juga ilmu-ilmu alam. Cyril Glasse, “Ihwan as-Safa” dalam Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas, terj. Ghufron A Masudi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm.161
3 Alwi Shihab, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 234
4 Yusuf Al-Qardhawy, Nasyid Versus Musik Jahiliyah, terj. H. Ahmad Fulex Bisri, H. Awan Sumarna, H Anwar Mustafa, (Bandung: Mujahid Press, 2003), hlm. 9-10
5 Ibid.
6 Dalam budaya Barat terdapat perbedaan tajam antara siapa yamg memproduksi musik dan siapa yang secara mayoritas mengkonsumsi musik. Dan kenyataannya semua golongan mayoritas dapat mengkonsumsi musik, mendengar, menarikan dan mengembangkannya. Kemudian ada kesan bahwa mayoritas diam merupakan masyarakat musikal dalam kapasitas memahami musik. Djohan, Psikologi Musik, (Yogyakarta: Buku Baik, 2003), hlm. 7-8
7 Alwi Shihab, Islam…, hlm. 234
9 Alwi Shihab, Islam…, hlm. 234.
10 Inayat Khan, Dimensi Mistik Musik dan Bunyi, terj. Subagijono, Fungki Kusnaendi Timur, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002), hlm. 67
11 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui…, hlm. 12
12 Yusuf al-Qardhawi, Islam dan Seni, terj. Zuhairi Misrawi, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), hlm. 39
13 Ibid, hlm. 40-41
14 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui…, hlm. 3
15 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui…, hlm. 4
16 Ibn al-Qayyim al-Jauziyah mamiliki nama asli Sams ad-Din Abū Abd Allah Muhammad Ibn Abi Bakr, lahir di Damaskus tahun 691H/1292 dan wafat pada tahun 751 H/1350 M. Ia sangat dekat dengan gurunya; Ibn Taimiyah, dan juga sangat gigih dalam menyebarkan Ilmu yang diperolah dari gurunya itu. “Ibn al-Qayyim al-Jawziyah” dalam Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), hlm. 374-375. Juga “Ibn al-Kaiyim al-Djawziya”dalam : HAR. Gib dan JH. Kramers (ed.), Shorter Encyclopedia Of Islam, (Leiden: EJ. Brill, 1974), hlm 149
17 Zindiq, berasal dari bahasa Persia yang diadopsi menjadi bahasa Arab. Di persia, zindiq diartikan “orang yang melanggar agama resmi negara”, namun setelah menjadi bahasa Arab dan dijadikan istilah dalam agama Islam arti zindiq mengalami perkembangan. Pada awalnya untuk menunjuk agama Manu, kemudian berkembang menjadi orang-orang materialisme dan ateisme setelah pemikiran Hellenisme memasuki dunia pemikiran Islam. “Zindiq” dalam Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam..., hlm. 1010
18 Yusuf al-Qardhawy, Nasyid Versus..., hlm. 51
19 Ibid., hlm. 52
20 Ibid., hlm. 56-57
21 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui…, hlm. 5
22 Abū Yusuf Ya’kub Ibn Ishak al-Kindi (w th 256 H./870 M.) Tokoh filosof muslim pertama, dan karyannya banyak diterjemahkan ke bahasa Latin. Cyril Glasse, “Al-Kindi” dalam Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam…, hlm. 217
23 Abū Naşr Muhammad Ibn Tarkhān al-Farabi (257-339 H./870-950 M.), di Eropa dikenal dengan nama al-Farabius dan Avennaser, dan menerima gelar sebagai “guru kedua” setelah Aristoteles. Ia berusaha menggAbūngkan doktrin Plato dan Aristoteles dalam sebuah pemikiran filsafat. Cyril Glasse, ”Al-Farabi” dalam Ibid., hlm. 86
24 Ibn Sina (370-429 H./980-1037 M.) lahir di Bukhara Irak, ayahnya berasal dari Persia dan ibunya berasal dari Turki. Usia 10 tahun sudah hafal al-Qur’an dan dikenal sebagai folosof, dan ahli fisika, dan karya terbesarnya adalah kajian mengenai ilmu kedokteran (al-Qonun fi at-Ţibb). Cyril Glasse, “Ibn Sina”dalam Ibid., hlm. 153
25 Ibn Bajjah (500-533 H,/1106-1138 M.) di Eropa dikenal dengan nama Avempace. Ia menulis komentar tentang Aristoteles dan juga terkenal sebagai ahli fisika. Cyril Glasse, “Ibn Bajjah” dalam Ibid., hlm. 146
26 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui…, hlm. 7-10
27 Al-Gazāli, Mutiara Ihya’ ‘Ulum ad-Din, terj. Irwan Kurniawan, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 172
28 Jalāl ad-Dīn Rūmi lahir di Balkh (kini Afganistan) tahun 604 H/1207 M dan meninggal di Konya pada tahun 672 H/1273 M. “Djalal ad-Din Rumi” dalam HAR. Gib dan JH. Kramers (ed.), Shorter Encyclopedia…, hlm. 83
29 Inayat Khan, Dimensi Mistik..., hlm. 65
30 Ibid., 70-71
31 Idries Shah, Mahkota Sufi, terj. M. Hidayatullah dan Roudlon S.Ag., (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), hlm. 197
32 Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta, Pustaka Panji Mas, 1994), hlm. 120
33 “Pengantar Penerbit” dalam Al-Gazāli, Samudera Pemikiran Al-Gazāli, terj. Kamran As’ad Irsyadi, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002), hlm. xi
34 Ibid.
35 Al-Gazāli, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, (Libanon: Dar al-Ma’rifah, tt.), Juz II, hlm. 268.
36 “Pengantar Penerbit” dalam Al-Gazāli, Samudera Pemikiran…, hlm. xi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Nice Blog…
ReplyDeleteProgram-latihan-Motivasi-Dato’-fadzilah-kamsah
http://superkidexcel.com/